Pendekatan penting dalam kritikan sastra memang sangat dibutuhkan, karena bagaimanapun,
fungsi kritikan sastra menjadikan karya sasta lebih berkembang dan disukai banyak kalangan. Kita harus mengetahui bersama secara pasti akan hubungan antara karya sastra dan masyarakat dalam kerangka kritik sastra pernah (dan masih) menjadi polemik antara beberapa orang pengkritik sastra. Ada yang mengatakan karya sastra haruslah dilihat dari suatu objek sastra yang menyendiri tanpa dihubungkan dengan dimensi kewujudannya, diantara pengkritik itu seperti Wellek dan Waren (1956) mengatakan:
“bahwa pendekatan sosiologi atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempersoalkan sesuatu diseputar sastra masyarakat bersifat sempit dan eksternal”.
Dipihak yang lain berpendapat, karya sastra adalah milik mutlak pengarang yang tidak mencerminkan masyarakat pengarang. Ignas Kleden (1981) menyebutkan:
“sastra adalah karya individual yang didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imaginasi, dia pertama-tama karena merupakan cermin diri sang pengarang itu sendiri. Persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila dia kebetulan mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat maka hanya lantaran persoalan umum itu kini terasa sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua karena kemampuan menembus suatu kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa kininya. Persoalan yang diharapkan mungkin belum terasa aktual sementara ini”.

Ada pula yang menyadari akan hubungan antara karya sastra dan masyarakat, Usman Awang mengatakan:
“penulis melihat masayarakat dalam hubungan nilai-nilai masyarakatnya yang dipelajari secara langsung atau tidak langsung, yang telah dialaminya secara sadar atau dibawah sadarnya. Karya sastra itu berisi dengan pendapatnya dari pemikirannya pula terhadap nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya.
Akhirnya, keberadaan karya sastra akan selalu menghadirkan banyak kritikan kusastraan. Hal ini sangat baik untuk perkembangan dunia kesusastraan nusantara yang kian hari kian tersesih seiring melesatnya dunia teknologi. Dengan pendekatan sosiologi ataupun pendekatan ekstrinsik, keberadaan sastra kita tidak perlu lagi dipertanyakan. Alangkah indahnya jika kritikan sastra tidak malah menjadikan karya sastra menjadi mandul, dan alangkah mirisnya jika karya sastra tak diiringi dengan kritikan sastra yang efektif.
Semoga saja, dengan adanya tulisan ini, akan menjadikan para ahli kesusastraan nusantara berpikir lebih maju tentang pendekatan-pendekatan (approach) yang penting digunakan dalam kritikan karya sastra, sehingga, kesusastraan nusantara ini akan terus terpelihara dengan baik. Tidak hanya itu, semoga saja semakin banyak kritikan sastra yang mengedepankan pendekatan yang lebih baik dari aspek sosiologi semata, bisa juga ditambahkan dengan aspek psikologi atau bahkan antropologi. Mungkin . . . .