Bentuk-bentuk seperti Yang kencing anjing; Yang ngebut benjut; Yang masuk kami anggap pencari, memang dilihat dari segi bentuk atau konstruksi tuturannya sama sekali bukan imperatif. Namun, apabila dilihat dari segi maksud atau makna pragrnatiknya jelas merupakan imperatif, yakni imperatif yang bermakna pragmatik larangan.
Tuturan yang pertama melarang orang kencing di sembarang tempat, tuturan kedua melarang pengendara kendaraan melaju kencang, dan tuturan ketiga melarang pemulung masuk kebun. Kalau kita jeli, sebenarnya banyak sekali tuturan di sekitar kita yang bermakna pragmatik imperatif entah makna larangan, anjuran, bujukan, dan lain-lain, sekalipun konstruksinya bukan imperatif.
Bahkan, bunyi-bunyi pasimologis, seperti kentongan, bunyi klakson, bunyi lonceng gereja, bunyi beduk mesjid juga dapat bermakna pragmatic imperatif. Lalu, perlu pengasuh tegaskan bahwa penentu makna pragmatic tersebut bukanlah Wujud konstruksinya, melainkan konteks situasinya. Berkaitan dengan ini, Saudara dipersilakan membaca kembali buku tersebut dengan lebih cermat agar segala sesuatunya bisa menjadi lebih jelas.
Selanjutnya, frasa dengan konstituen yang, si, sang, seperti yang Saudara sampaikan di atas, dalam linguistik dinamakan konstruksi frasa onomastik.
Di samping ditandai oleh kata-kata itu, konstruksi frasa onomastik ini juga ditandai oleh pemakaian kata sebutan atau kata panggilan, seperti bung, kang, tuan, saudara, dik, mas, pak, bu.
Kata-kata tersebut dalam konstruksi frasa dinamakan penguasa, sementara kata»kata yang menyertainya disebut pewatas. jadi, dalam frasa yang cantik, penguasanya adalah yang, sedangkan pewatasnya adalah cantik. Demikian pula halnya dengan frasa yang jatuh, yang sebenarnya, si buta, si terdakwa, sang kedok, unsur yang berada di depan merupakan penguasa, sementara unsur yang menyertainya masingmasing dinamakan pewatas.
Ternyata, pewatas untuk masing-masing penguasa dalam konstruksi frasa onomastik yang disebutkan di atas tidak selalu sama jenis katanya. Kata yang sebagai penguasa dapat dibatasi oleh verba, seperti yang jatuh, yang makan bakso. Selain dibatasi verba, yang sebagai penguasa juga dibatasi ajektiva, seperti yang cantik, yang gendut; dibatasi adverbia, seperti yang sebenarnya, yang semestinya; dibatasi numeralia, seperti yang kedua, yang satu; dibatasi kata-kata penunjuk, seperti yang demikian, yang demikian ini, yang iin, yang ini; dibatasi nomina, seperti yang dosen, yang petani; dibatasi preposisi, seperti pada yang di sana, yang di sini. Ada pula pewatas yang bentuk-bentuk perulangan atau reduplikasi, seperti yang sudah-sudah, yang tidak-tidak.
Kontruksi frasa yang berpenguasa si dapat diberi pewatas nominaseperti si anak, si murid; pewatas pronomina, seperti si dia; pewatas verba, seperti si terdakwa, si terhukum; pewatas ajektiva, seperti si buta, si bisu. kontruksi frasa onomastik yang berpenguasa sang lazimya diikuti pewatas nomina seperti sang raja, sang presiden. Dalam hal tertentu, dapat pula penguasa si diikuti pewatas verba berafiks ter-, seperti pada sang terdakwa, sang terhukum.
Adapun konstruksi onomastik yang berpenguasa kata sebutan atau kata panggilan seperti bung, bang, tuan, saudara, dik, mas, pak, bu hanya hanya bisa disertai dua macam pewatas nomina. Pewatas nomina yang satu merupakan penunjuk nama seperti Bu Lien, Saudara Amien, sedangkan pewatas yang satunya lagi merupakan penunjuk jabatan atau pekerjaan, seperti Pak Dokten Bu Guru, Pak Camat.
Lalu , menyangkut pertanyaan terakhir, bentuk yang ini, yang itu, yang demikian ini, yang demikian itu dapat disebut sebagai konstruksi frasa onomastik berpenguasa yang dengan pewatas deiksis. Dinamakan demikian karena pewatas-pevvatas dalam konstruksi frasa itu merupakan kata deiksis atau kata yang berkedudukan sebagai penunjuk.