Dalam banyak hal, praktik kebahasaan secara loyal mengikuti prinsip kehematan dan kelejasan (transparansi). Prinsip kehematan menunjukkan, bahwa dalam praktik bertutur kata dan penyampaian pesan tulis, orang harus menggunakan maujud (wujud) bahasa sehemat- hematnya. Dengan setia pada prinsip kehematan pula, orang lalu berlomba-lomba menyampaikan pesannya secara mini bahasa dan sedikit kata-kata. Tetapi, dengan model mini bahasa dan kata-kata ya seperlunya, identitas pesan tetap kentara dan dapat tersampaikan dengan sempurna. Bahkan, dalam banyak hal, ketajaman pesan dan efek bahasa mini akan sangat kuat dan menjadi tajam menghunjam. Ambillah contoh karikatur di sejumlah surat kabar dan majalah; mereka memiliki efek tajam, jauh melebihi maujud bahasa sesungguhnya.
Tidak saja karikatur, drama mini kata juga menjadi sarana efektif , untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah dan siapa pun juga. Justru karena kejenakaan yang ditampilkan lewat permainan drama tanpa bahasa. dan dengan kataakata yang sangat sedikit, kadar ketajaman sindiran dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal serupa sepertinya kini banyak merambah dalam dunia niaga. Banyak sekali iklan masyarakat dan pesan komersial yang kekuatannya bukan pada maujud bahasanya, tetapi pada ornamen-ornamen yang melingkupinya. Bahasa justru dipakai seperlunya saja, dengan pilihan kata-kata yang serba sedikit dan tidak perlu berbunga-bunga. Tetapi, perhatikan efek pesan dari pemakaian bahasa promotif . yang demikian itu, sungguh hebat dan tidak dapat disangka-sangka. Coba cermatilah iklan rokok, alat-alat kosmetik, tata busana dan tata boga, dan masih banyak lagi masalah sederhana yang menjadi besar sensasional, justru karena keminiman bahasa yang digunakan dan kehematan kata yang diterapkan.
Beberapa contoh di atas menegaskan bahwa dalam batas tertentu, keekonomisan di dalam berbahasa, justru dituntut untuk menjamin efektivitas penyampaian pesan. Dalam pendidikan, misalnya saja, sesekali prinsip keekonomisan juga diterapkan. Ketika seorang mahasiswa sedang diuji lisan oleh dosennya, dia harus hemat dan cermat dalam menjawab dan mengeluarkan kata-kata. Pasalnya, semakin panjang maujud bahasa yang dipakai, semakin banyak kata-kata yang dilontarkan, akan semakin banyak pula kemungkinan lubang yang dapat mematikannya. Para pengacara biasanya juga demikian hati-hati dan cermat sekali dalam ber- bahasa. Pasalnya, setiap kata yang digunakan selalu mengandung kemungkinan penafširan makna berbeda-beda. Maka, kecerobohan dalam memakai kata-kata dan ketidakcermatan dalam berbahasa hukum dapat adi perangkap bagi dirinya.
Tetapi, tidak berarti bahwa di dalam setiap praktik berbahasa, demikian pun dengan bahasa Indonesia dan dialek kedaerahan yang ke bawahannya, orang harus selalu hemat dan superhati-hati dalam mendayagunakan kata-kata. Sebagai imbangan prinsip kehematan seperti disampaikan di depan tadi, praktik berbahasa juga setia mengikuti prinsip kejelasan. Prinsip kelejasan ini menegaskan, bahwa semakin lejas (transparent) bahasa yang digunakan, akan semakin efektif sosok bahasa itu digunakan untuk menyampaikan pesan. Kelejasan biasanya juga berelasi kali dengan bentuk-bentuk panjang (elaborated forms). Maka, semakin panjang maujud-maujud bahasa yang digunakan, akan semakin lejas pula pesan yang hendak disampaikan itu.
Ambillah contoh proses pendefinisian kata-kata asing dan penyerapan , istilah asing ke dalam bahasa lndonesia. Idealnya, serapan asing itu memang disampaikan secara lejas dengan menggunakan kata-kata lndonesia. Tetapi, karena yang lejas sering menjadi tidak ekonomis, bentuk-bentuk itu tidak disukai oleh masyarakat pemakainya. Bahkan, masyarakat pengguna bahasa juga tidak banyak mengenalnya, dan praktis yang mengenalnya hanyalah para pakar penciptanya. Dengan fakta kebahasaan yang demikian itu, nilai kebermanfaatannya bagi masyarakat juga pasti menjadi rendah.
Banyak contoh serapan semacam ini di dalam lingkup ilmu kedokteran, ekonomi, teknik, dan bidang-bidang ilmu lainnya. Alih-alih bentuk ‘suku banyak' orang memilih bentuk `polinom’. Jika keduanya dibandingkan. Bentuk “polinom” lebih hemat dan relatif lebih mudah dihafal karena dekat dengan bentuk asingnya. Demikian pun bentuk “akuisisi”, cenderung dipandang lebih ekonomis dan hemat daripada 'pemerolehan”. Pasalnya, bentuk “akuisisi” dekat sekali dengan aslinya, acquisition. Coba perhatikan pula kenapa bentuk serapan "monitoring, koding, aparatus, adipose, asefalus’, sekarang mulai banyak dipilih alih-alih bentuk imbangannya 'pemonitoran, penyandian, alat-alat, lemat, tanpa kepalai.
Lalu, simpulan dari penjelasan di atas adalah bahwa baik prinsip kehematan maupun kelejasan, hendaknya digunakan secara tepat dan penuh pertimbangan dalam setiap praktik kebahasaan. Preferensi yang berlebihan terhadap salah satu kutub di antara kedua pilihan itu justru membuat maujud bahasa yang digunakan menjadi sangat tidak efektif, bahkan bisa jadi akan sangat merepotkan.