Cerita Rakyat Dewi Ngalima - Adakah diantara sahabat yang tinggal didaerah Jawa Barat, tepatnya disekitar ciamis? Tentu setiap daerah memiliki cerita dan kali ini anda akan membaca tentang cerita rakyat tentang seorang putri dari kerajaan yang konon katanya bercerita tentang asal usul sebuah patung yang ada di pegunungan sawal. Pastinya sudah tidak sabar ingin membaca cerita tersebut kan? Langsung saja anda dapat membaca cerita rakyat tentang Dewi Ngalima di bawah ini.
Cerita Rakyat Dewi Ngalima
Di lereng gunung sawal terdapat sebuah batu patung yang konon katanya adalah sebuah patung dari seorang raja pada jaman dahulu yaitu suami dari Dewi Ngalima.
Cerita Dewi Ngalima sendiri berawal dari seorang raja muda pada masa kejayaan kerajaan pejajaran yang jatuh cinta kepada seorang anak gadis raja yang bernama Raja Rangga Gading yang memiliki seorang puteri yang bernama Dewi Ngalima. Raja muda tersebut sudah bermaksud untuk menikahi dan menjadikan raja Rangga Gading sebagai mertuanya.
Raja Rangga Gading sendiri adalah seorang raja yang ditakuti dan gagah perkasa dikerajaannya, raja Rangga Gading diyakini memiliki kekuatan sakti yang terletak pada singgasana tempat ia duduk di kerajaannya, dimana singgasana tersebut terbuat dari batu complang yang amat keramat dan sakti. Saking keramatnya tidak ada yang boleh menduduki singgasana tersebut selain raja Rangga Gading, sekalipun itu adalah anggota keluarganya. Karena jika singgasana itu diduduki olah orang lain maka yang mendudukinya akan mendapatkan celaka.
Karena saking cintanya kepada Dewi Ngalima akhirnya sang raja muda itu pun mendatangi raja Rangga Gading dan memintanya untuk segera menikahkannya dengan Dewi Ngalima. Namun ternyata sang raja Rangga Gading diketahui telah menjodohkan Dewi Ngalima dengan seorang raja Cirebon jauh jauh hari sebelum raja muda itu mendatanginya. Melihat kedatangan dan niatan baik sang raja muda akhirnya raja Rangga Gading pun hendak menolak tidak enak. Akhirnya raja Rangga Gading pun mengabulkan permintaan raja muda itu untuk menikahi Dewi Ngalima.
Namun setelah kejadian itu timbul kegelisahan yang dialami oleh raja Rangga Gading, karena takut jika ada permasalahan dengan kerajaan cirebon yang sudah jelas jelas menjodohkan Dewi Ngalima kepada kerajaan Cirebon. Saking gelisahnya akhirnya raja Rangga Gading berinisiatif untuk menghancurkan pernikahan raja muda tersebut dengan Dewi Ngalima saat hari pernikahannya.
Hingga tepat saat tiba di hari pernikahannya sang raja muda pun mendatangi raja Rangga Gading dan menghadap di hadapannya dengan pengawalnya. Saat raja muda hendak membungkung untuk menyembah sang raja Rangga Gading, kemudian Rangga Gading berkata : “ Wahai raja muda, tidak usah memberi penghormatan seperti itu kepadaku, kau sebentar lagi akan menjadi menantuku, kesinilah duduk di singgasana ku. Karena engkau akan menggantikan ku saat aku tiada nanti.”
Lalu dengan terkejuta pengawal raja muda itu langsung membisikan kepada raja muda : “Baginda tidak boleh menduduki singgasana itu, karena jika seseorang mendudukinya selain Rangga Gading maka akan timbul celaka.” Dengan mendengar kata pengawalnya raja muda itu pun menjawab ajakan raja Rangga Gading “Yang mulia, saya tidaklah pantas untuk duduk diatas singgasana itu.” Melihat reaksi raja muda yang enggan itu pun akhirnya raja Rangga Gading memberi ajakan kembali untuk menduduki singgasana itu. Akhirnya sang raja muda pun mendekat dan kali ini dia lupa apa yang dikatakan oleh pengawalnya dan dia pun akhirnya menduduki singgasana itu.
Saat raja muda itu menduduki singgasana itu tiba tiba terdengar teriakan dari kamar pengantin wanita Dewi Ngalima, lalu raja muda pun penasaran dan panik apa yang membuatnya teriak. Akhirnya raja muda itu pun saking khawatirnya dengan Dewi Ngalima ia bergegas menuju kamar mempelai wanita dan ditemukannya disana sang penjaga pengantin wanita dengan histeris mengatakan bahwa Dewi Ngalima telah dibawa lari oleh seseorang.
Dengan rasa panik dan marah raja muda itu langsung menunggangi kuda sembrani raja Rangga Gading untuk mengejar dan mencari Dewi Ngalima. Hari demi hari ia lalui dengan tidak menemukan jejak, lembah hutan demi hutan sudah ia lalui dan tibalah ia pada pegunungan muriah dia menemukan sebuah gua tapa dan saat itu juga beliau sudah lemas tak berdaya bersama kuda sembrani itu, lalu ia memasuki gua tersebut dan bertemu seorang bapa petapa disana untuk meminta memberinya burung garuda dewa wisnu untuk ia tunggangi mencari Dewi Ngalima, namun permintaannya ditolak oleh bapa petapa itu. “Bagaimana mungkin aku memberimu burung garuda untuk kau tunggangi raja, sedangkan para dewa sendiri tidak ada yang menungganginya.” lalu kemudian bapa petapa itu berfikir sejenak dan menyuruh raja muda itu untuk memejamkan matanya dan jangan membukanya sebelum bapa tapa itu menyuruhnya. “Sekarang pejamkanlah mata raja, aku akan memberikan sesuatu untuk raja tunggangi.”
Setelah menyuruh raja muda untuk membukakan mata, terlihat bahwa kuda sembrani yang lemas tak berdaya kembali pulih dan memiliki sayap untuk ia tunggangi. Dengan rasa senang raja muda itu pun langsung melanjutkan perjalanannya kembali dan kali ini dia terbang dengan kuda sembrani yang memiliki sayap. Lembah demi lembah dia lalui kembali dan tibalah ditengah perjalanan tepatnya di gunung sawal ia melihat dari atas ada enam orang laki laki yang sedang bercakap cakap dihutan. Dengan penasaran akhirnya raja muda pun turun dan menghampiri mereka dan kemudian ia bertanya.
“Apakah kalian melihat seorang putri yang dibawa lari oleh seseorang di sekitar sini?”, lalu ke enam laki laki itu pun menghiraukan pertanyaan sang raja muda dengan terus bercakap cakap dengan lainnya. Lalu dengan pertanyaan yang tak terjawab raja muda pun marah dan menanyakan kembali pertanyaan tersebut dengan menambahkan ancaman “Jika kalian tidak menjawabnya maka akan aku penggal kepala kalian semua”. Lalu satu persatu laki laki itu pun menjawab, laki laki pertama menjawab bahwa putri tersebut tidak dibawa lari, tapi dia sudah menjadi se-ekor burung merpati putih, dan lelaki yang ke dua menjawab bahwa putri itu sudah menjadi harimau dihutan. Sedangkan lelaki yang ketiga menjawab bahwa ia melihat seorang putri telah menjadi bidadari dan kemudian terbang ke langit. Lalu pria yang keempat menjawab bahwa ia mengetahui putri telah menjadi tua dan berwajah buruk rupa, lalu yang kelima menjawab “ya betul, kami telah melihat nya telah menjadi buruk rupa dan tua”. Lalu yang ke enam menambahkan “lalu kami membunuhnya dan melemparkannya kedalam jurang”.
Mendengar perbedaan jawaban dari ke enam laki laki itu pun akhirnya sang raja muda marah besar dan mengeluarkan kerisnya yang kemudian memotong kepala mereka satu demi satu. dan menyumpah mayat mereka untuk menjadi batu. Lalu akhirnya ke enam mayat itu pun menjadi batu dengan kepala yang hilang. Lalu kemudian baginda raja muda itu pun melanjutkan perjalanannya mencari Dewi Ngalima dan mendaki gunung sawal. Saat baginda berada di dataran yang tinggi lalu kemudian beliau melihat seorang nenek tua yang buruk rupa. Melihat sang raja muda itu pun nenek itu langsung memeluk sang raja dan berkata “Aku ini istrimu..” kemudian raja muda pun berkata “Bagaimana mungkin kau bisa menjadi tua seperti ini dan buruk rupa?”. Kemudian Dewi Ngalima pun menjawab “Ini semua karenamu yang menduduki singgasana kramat itu, saya dibawa lari oleh kerajaan cirebon. Kenapa engkau tidak mencariku.” dengan rasa menyesal raja muda itu pun terdiam dan Dewi Ngalima pun marah ketika mendengar bahwa dia buruk rupa lalu kemudian Dewi Ngalima menunggangi kuda sembrani itu dan terbang ke angkasa.
Tetapi saat dewi ngalima turun dan ingin berbaikan dengan sang raja, ditempat itu pula lah tubuh sang raja sudah menjadi batu dan hanya kepalanya saja yang masih mampu digerakkan. Kemudian raja muda itu pun berkata dengan kata kata terakhirnya karena seluruh tubuhnya akan menjadi batu. “Aku telah mencarimu Dewi Ngalima, selama 40 hari.” dan kemudian raja muda itu pun menjadi batu seluruh tubuhnya. Melihat peristiwa itu Dewi Ngalima bersedih hati dan berduka cita dengan menemani raja muda itu disampingnya. Dewi Ngalima menemani sambil menangis dan bersedih disetiap harinya dengan menyulam kain kafan untuk kemudian ia kenakan pada raja muda itu. Namun selama 40 hari pula Dewi Ngalima tidak pernah selesai menenun kain kafan itu. Dan akhinya Dewi Ngalima pun pergi dari tempat itu dengan menyelesaikan menenun kain kafan ditempat tempat sekitar.
Hingga saat ini, konon di daerah telaga tersebut sering terdengar saat malam tiba seperti ada seseorang yang sedang menenun kain dan konon suara tersebut adalah Dewi Ngalima yang sendang menenun kainnya untuk raja muda yang telah menjadi batu.”
Seperti itulah
cerita rakyat tentang Dewi Ngalima dapat anda jadikan sebagai sebuah dongeng rakyat maupun cerita untuk anak didik anda maupun untuk sebuah pengajaran, jika kita melihat cerita rakyat diatas sendiri mungkin akan sangat banyak pesan pesan yang dapat kita ambil dari cerita tersebut. Atas perhatian dan kunjungannya satubahasa ucapkan terima kasih sudah membaca cerita rakyat ini.